James Thomas adalah Kebanggaan

Renalto Setiawan
4 min readJan 4, 2015

--

Ini adalah kisah tentang Thomas yang lain. Kisah ini adalah tentang Si James, yang mempraktikkan bait puisi Si Dylan, “lawan, geramlah api yang hendak padam”, dalam sebuah pertandingan sepakbola.

Setelah merapal bait puisi itu, Si James menghilang bak ditelan kabut malam. Namun seperti puisi-puisi dahsyat Si Dylan, apa yang dilakukan Si James akan selalu mematung dalam ingatan kota Swansea.

***

Awan mendung menyelimuti kota Swansea. Meski demikian, matahari tampak masih bisa menikmati keindahan kota Swansea melalui jarak pandangnya. James Thomas duduk di pinggir sebuah lapangan yang sore itu permukaannya sedang dilukis abstrak oleh anak-anak yang sedang bermain bola. Thomas sedikit merasa lelah. Dengan menonton anak-anak bermain bola mungkin dia bisa sedikit beristirahat, menghilangkan penat di kepalanya setelah seharian mengawal mobil ambulan yang menjadi karibnya.

Dengan melihat anak-anak ini bermain sepakbola, setidaknya mataku dapat melihat pemandangan selain pantat mobil dan pelat nomornya, begitu pikirnya.

Dan ia pun teringat kejadian 10 tahun lalu, ketika masih aktif menjadi pemain sepakbola profesional.

Pada saat itu, setelah sempat bermain untuk Blackburn Rovers, Thomas bermain bersama Swansea City, klub yang berasal dari kota kelahirannya.

Thomas tidak menyesal meninggalkan Blackburn yang sejatinya berada di divisi yang lebih tinggi dari Swansea. Thomas adalah pria lokal sekaligus penggemar berat Swansea. Vecth Field, stadion Swansea, adalah bagian dari masa kecilnya. Melihat John Toshack dari salah satu tribun, hilanglah sudah rasa jengkel dimarahi guru karena salah dalam mengerjakan soal matematika di sekolah.

Sepuluh tahun lalu, Swansea City hanyalah penghuni kasta terendah Liga Profesional. Jika sampai terdegradasi, Swansea akan mengalami hal yang paling buruk sebagai sebuah tim profesional: bermain di Liga Konferensi — liga setengah profesional dan setengah amatir.

Di Liga Konferensi, sepakbola biasanya menjadi prioritas kedua bagi para pemainnya. Mereka lebih lincah dalam membariskan kereta dorong di swalayan, memperbaiki ledeng yang bocor, hingga menjadi penjaga toko daripada bermain sepakbola.

Swansea tentu tidak mau bernasib seburuk itu. Tetap menjadi bagian Liga Profesional adalah harga mati.

Pada pekan terakhir, Swansea berada di zona degradasi dan kekalahan akan mengirim mereka ke Liga Konferensi. Kala itu Swansea akan menjamu Hull City. Vetch Field yang berkapasitas 11.000 orang penuh sesak. Masyarakat yang tidak kebagian tempat di dalam stadion tersebut memilih berada di pub-pub terdekat. Layar kaca di depan mereka lantas menjadi lebih penting dari apa pun selama 90 menit ke depan.

Roberto Martinez, gelandang Swansea asal Spanyol, siap memimpin perjuangan rekan-rekannya di atas lapangan. Lingkaran kain di lengan kirinya dapat membuktikan bahwa dia memanglah seorang pemimpin.

Leon Britton, gelandang Swansea, menjadi sorotan publik pada pertandingan tersebut. Britton adalah pemain muda lulusan Lilleshall, sebuah akademi yang begitu ternama di Inggris. Banyak orang mengernyitkan dahi ketika dia memilih dipinjamkan West Ham United ke Swansea dengan alasan ingin selalu menjadi pemain utama — sebetulnya, banyak klub yang lebih baik dari Swansea yang menjajikan tempat utama bagi Britton.

Britton merasa baik-baik saja, meski Swansea ngos-ngosan untuk membayar gajinya. Konon, para penggemar Swansea juga ikut terlibat untuk mengisi kantong Britton: mereka akan berkeliling kota sambil menodongkan ember ke orang-orang yang mengaku mencitai Swansea.

Lalu, James Thomas?

Dia hanya striker lokal berkemampuan biasa saja. Semenjana.

Bersamaan dengan dimulainya pertandingan, detak jantung tanda ketegangan para pendukung Swansea juga dimulai. Hebatnya, ketegangan itu bisa sedikit mereda di awal pertandingan: Leon Britton dijatuhkan di dalam kotak penalti. Sambil menunjuk titik putih, wasit meniup peluit tanda pelanggaran

Dengan tenang, James Thomas, Si Semenjana, berhasil mengeksekusi penalti itu dengan baik. Mata bertatap mata. Nyali Thomas ternyata lebih besar daripada Kiper Hull; 1–0 untuk Swansea.

Dan, penggemar Swansea pun mulai berani ngomong satu satu sama lain.

“Bahagia tapi masih belum pasti,” kata penggemar Swansea yang jambul rambutnya mirip dengan jambul rambut Tintin, tokoh kartun karya Herge, kartunis kelahiran Belgia.

“Ya, kalau dibalas kita masih bisa mati,” jawab penggemar lainnya sambil berbisik kepada orang di sebelahnya: sejujurnya, aku memang belum bisa lega.

Ucapan penggemar Swanse itu ternyata langsung diamini oleh semesta. Beberapa saat kemudian, tak tanggung-tanggung, Hull City berbalik unggul 1–2 melalui kaki Stuart Elliot dan Martin Reeves, Hull City berbalik unggul 1–2. Vecth Field kembali hening — kali ini, lebih hening daripada sebelumnya, bahkan mirip suasana makam di tengah malam.

Beruntungnya, satu menit menjelang babak pertama berakhir, Swansea lagi-lagi mendapatkan hadiah penalti. Thomas kembali dipilih sebagai algojo dan ia berhasil menyamakan kedudukan.

Soerang wartawan lokal lantas menulis laporan di sebuah kertas: “Pertandingan masih menyisakan waktu 45 menit. Apakah hari ini akan menjadi cerita menarik untuk anak cucu kita? Semoga saja. Semoga saja bisa menjadi dongeng sebelum tidur yang dahsyat.”

Babak kedua kemudian dimulai. Swansea langsung bermain menyerang. Roberto Martinez terus beteriak-teriak di tengah lapangan, memastikan bahwa rekan-rekannya masih bersemangan. Dan 17 menit kemudian, gantian para penonton yang beteriak kegeringan: Lenny Johnrose membuat Swansea unggul 3–2. Vetch Field pun bergemuruh hebat.

Kedudukan itu lantas bertahan hingga menit-menit akhir pertandingan sampai akhirnya Thomas kembali unjuk kebolehan

kala itu, sentuhan bola ketiga Thomas mengakibatkan dirinya tinggal berhadapan dengan kiper Hull City. Dia sadar keputusan harus segera dibuat. Tiba-tiba, secara alamiah, seperti apa yang biasa dilakukan oleh Matthew Le Tissier dan Eric Cantona, Thomas melob bola melewati jangkauan kiper. Saat kiper Hull tersebut tak sedikit pun bereaksi, bola berhasil meluncur mulus ke dalam gawang.

Thomas mengepalkan kedua tangannya tinggi-tinggi ke udara. Ia mencetak hattrick. Swansea akhirnya menang, dan pendukung Swansea mulai meneriakkan namanya.

“Kau hebat bocah!,” teriak ibu-ibu yang mengenakan jersey away Swansea.

“Sampai tujuh turunan, anak-cucu kami akan selalu mengingat-ingat kepahlawananmu, Bocah!,” teriak pemuda yang mengenakan jaket kulit.

“Hei,hei,” suara anak kecil tiba-tiba menyadarkan Thomas dari lamunannya. Anak itu memakai seragam Swansea.

“Maukah anda menandatangani jersey yang saya kenakan ini?”

“Tentu saja,” jawab Thomas riang.

Setelah meminta tanda tangan. Anak kecil tersebut berlari ke arah rekan-rekannya untuk melanjutkan bermain sepakbola lagi. James Thomas berdiri, memandang langit sebentar, kemudian kembali ke mobil ambulan yang sudah lama menunggunya.

--

--