Toko Buku

Renalto Setiawan
3 min readMar 24, 2019

--

“Kau tahu?”

“Apa?”

“Di setiap album musik menyenangkan pasti ada satu lagu yang paling menyenangkan. Slank punya ‘Nggak Perlu’ dari album Lagi Sedih. Nomor ‘Kesepian Kita’ layak mendapatkan dua jempol dalam album Ketika… milik Pas Band. Dan contoh terakhir, siapa yang tak suka dengan ‘Cast No Shadow’ dalam album (What’s the Story) Morning Glory? kepunyaan Oasis?”

“Hmmm dalam album Oasis yang itu kan masih ada ‘Wonderwall’ sama ‘Don’t Look Back In Anger’, hayo?”

“Ya, kamu tidak salah. Tapi, itu kan versimu, dan barangkali versi jutaan orang lainnya. Kalau aku jelas lebih suka ‘Cast No Shadow’. Makanya di antara sekian banyak orang di toko buku ini, aku memilih ingin berkenalan denganmu, yang menurutku paling menyenangkan untuk dikenali.”

“Kau tahu, Tadao Ando dulu seorang petinju. Sekarang.. ia menjadi salah satu arsitek paling berpengaruh di dunia.”

“Maksudnya?”

“Bodo amat.”

Ia tersenyum kepada seorang pelanggan yang baru saja membayar buku Charles Bukowski. Ia menggesekkan ATM pelanggan itu ke mesin, menyuruh pelanggan itu memasukkan PIN, lantas kembali tersenyum.

Tingginya pas. Rambutnya pas, tidak begitu panjang, dikuncir ke belakang. Tetapi senyumnya memang sangat menyenangkan, membuatku melakukan hitung-hitungan untuk berkenalan dengannya.

Aku mengatur skenario sedimikian rupa untuk berkenalan dengannya, dengan dialog di atas, misalnya, tapi tak bisa bergerak sedikit pun saat melihat senyumannya itu. Jika dilihat secara saksama, saat tersenyum, ia mirip Sarah Roemer, salah satu aktris idolaku.

“Kira-kira buku apa, ya, yang tidak pusing kalau dibaca?”

Tolol. Pertanyaan itu pasti hanya akan membuat keningnya mengkerut, meskipun aku pergi ke toko buku itu memang untuk mencari buku yang tak bikin pusing.

Sore itu toko buku itu lumayan ramai. Orang-orang berseliweran, sendirian juga berpasang-pasang. Ada orang yang mirip kutu buku, tapi ada juga yang mirip seniman: seorang pemuda yang rambutnya digelung menyerupai Patih Gajah Mada.

Sebagian orang-orang itu memang berkunjung untuk mencari buku favoritnya. Tetapi, sebagian lainnya bablas ke belakang. Di belakang ada warung “foto analog” serta studio mini yang seringkali digunakan untuk memutar film-film lawas. Oh satu lagi: sebuah warung vinyl.

Saat aku melihat-lihat suasana, ia ternyata sudah berdiri di dekatku, merapikan buku-buku yang sempat dibolak-balik oleh para pelanggan tapi tak jadi dibeli. Ia melakukannya dengan hati-hati dan sungguh-sungguh, seakan buku-buku itu adalah koleksi pribadinya.

Dan, ia masih tersenyum.

Kau tahu, dari dekat, senyumnya nyaris tiada banding. Benar-benar seperti senyum Sarah Roemer dalam Disturbia, ketika Shea Lebouf menjelaskan betapa menariknya dirinya. Ini seperti Backstreet Boys sedang bernyanyi “Helpless When She Smiles” persis di depanmu: But I’m helpless when she smiles…

Aku lantas membayangkan sedang nonton pertandingan sepakbola. Komentator mulai berujar bahwa Jordan Henderson akan menggiring bola dari lini tengah, melewati tiga-empat orang pemain MU, membuat bek-bek MU menekel angin, dan akan mencetak gol kemenangan. Jika itu benar-benar terjadi, gol Hendo akan membuat Liverpool menjadi juara liga.

Sebagai fans MU, apa yang kalian rasakan? Detak jantung kalian bakalan berantakan, tentu. Kalian akan susah makan hingga seminggu setelahnya, dan jika aku tak menyapanya sekarang juga, barangkali aku akan seperti kalian.

Sayangnya, karena Henderson tak mungkin mencetak gol dengan cara Messi ke gawang MU, yang aku yakin tak akan pernah sekali pun terjadi hingga tahun 2999 kelak, aku lantas melewatkan kesempatan untuk menyapanya.

Aku berdiri dan malah membuka tas dan malah mengambil rokok dan malah berjalan ke luar untuk merokok.

Sore itu, meski gagal menyapanya, aku setidaknya tahu bahwa masih ada ruang kebahagiaan kecil yang terselip di Jakarta.

--

--